AGRESI
Makalah
Disususn Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah : Psikologi Sosial
Dosen Pengampu: Wening Wihartati, S.Ag.,
M.Si
Disusun Oleh :
Subaidah (101111043)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini kita sering
kali mendengar bahkan melihat tindak kekerasan yang terjadai dalam lingkungan
sekitar kita. Tidak jarang pula pada lingkungan keluarga. Keluarga yang
seharusnya menjadi contoh teladan bagi putra putrinya, entah itu secara sadar
atau tidak, sekarang justru berbalik mencelakai. Hal ini dapat kita lihat makin
maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan juga penyiksaan terhadap anak.
Terkadang kita dapat menyaksikan perilaku
sadistik di lingkungan tetangga atau teman dekat sekalipun. Sangat disayangkan di lingkungan kita tidak
lagi tercipta rasa aman. Hal ini dapat memicu konflik sosial, seperti tidak
akan percaya kepada setiap orang di sekitar kita, kita juga akan selalu
cenderung waspada. Hal itu bagus, tetapi terlalu curiga terhadap orang lain
juga akan menimbulkan efek yang tidak baik. Jika dibiarkan akan mencapai taraf
yang lebih parah, seperti paranoid yang berlebihan. Selain itu baik pelaku atau
korban tetap akan dirugikan. Sipelaku akan masuk penjara, sedangkan paling parah
korbannya akan meninggal. Atas pertimbangan itulah dalam makalah ini akan
dibahas mengenai agresi.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Pengertian
agresi
B. Proses
agresi
C. Faktor-faktor
agresi
D. Cara
mengurangi perilaku agresif
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
agresi
Agresi adalah segala bentuk perilaku
yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak
yang dilukai tersebut berusaha untuk menghindarinya. Dari definisi tersebut
terdapat empat masalah penting dalam agresi. Pertama, agresi merupakan
perilaku. Kedua, ada unsur kesengajaan. Ketiga, sasarannya adalah makhluk
hidup, terutama manusia. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.[1]
Secara umum, agresi memiliki dua
sisi, yakni positif dan negatif, dimana keduanya dimaksudkan untuk memperkuat
kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut “pernyataan diri” (assertiveness), yakni memperkuat
kesadaran diri tanpa merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi
negatifnya kita namakan tindak kekerasan (violence),
yang lebih berpusat pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.[2] Terjadinya agresi (negatif) dalam kehidupan
manusia itu dikarenakan tidak adanya mekanisme biologis dalam diri manusia
untuk menghambat sikap agresif tersubut. Selain itu problematika manusia berbuat
agresi (negatif) adalah ia tidak hanya hidup di dunia “nyata”, tetapi juga di
dunia simbolis. Dengan kata lain, kita telah memperluas “ego” melebihi diri
kita sendiri dan dari segala apa yang kita cintai kepada sesuatu yang bersifat
simbolik.
B. Proses
agresi
Agresi merupakan perilaku melukai
orang lain, perilaku tersebut pastilah terjadi melalui proses. Proses tersebut
antara lain:
1. Melalui
pemodelan
Dengan melihat berbagai kejadian yang menstimulasi agresi,
orang bisa menjadi agresif. Proses meniru seperti itu biasa disebut sebagai
pemodelan atau imitasi. Salah satu karakteristik penting dalam proses modeling
ini adalah adanya hubungan emosional yang kuat antara model dengan peniru.
Biasanya orang yang ditiru adalah orang yang dikagumi.[3]
Belajar sosial yang paling banyak berpengaruh akhir-akhir ini
adalah media televisi. Sering terjadi bahwa proses peniruan memang tidak
didasari oleh rasionalitas, sehingga orang yang menyaksikan kekerasan di
televisi bisa menjadi ikut-ikutan agresif. Bahwa dengan melakukan peniruan itu,
peniru merasa diberi reward dari orang yang ditirunya.
Meskipun para pakar psikologi masih mempertanyakan sejauh mana
TV dan bioskop mempengaruhi perilaku manusia, sebagian besar peneliti
memberikan kesimpulan “bahwa menonton kekerasan memang meningkatkan agresi
antar pribadi, terutama dikalangan anak kecil”. Kekerasan dalam film dapat
menimbulkan perilaku agresif melalui beberrapa cara:
1. Dengan
mengajarkan gaya tindakan agresif.
2. Dengan
meningkatkan keterbangkitan.
3. Dengan
membuat orang tidak peka terhadap kekerasan.
4. Dengan
mengurangi kendala pada perillaku agresif.
5. Dengan
mengubah tentang cara penyelesaian konflik.[4]
2. Melalui
pembelajaran
Dalam proses pemodelan, meakipun peniru merasa mendapatkan
hadiah dengan melakukan hal yang sama dengan pelaku, sebenarnya antara peniru
dan yang ditiru memiliki hubungan yang jelas dalam konteks prosesnya. Disisi
lain, sering ada kesengajaan seseorang meminta orang lain melakukan suatu
perbuatan dengan memberi imbalan apabila orang tersebut mau melakukan. Contah
yang ekstrim dalam hal ini adalah eksekutor yang bekerja sebagai tukang jagal.
Hubungan inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.[5]
C. Faktor-faktor
agresi
Agresi
adalah tingkah laku yang dapat menyakiti orang lain. dalam agresi terdapat
beberapa faktor dan tiap faktor agresi dapat berbeda dengan tindakan agresi
yang satu dengan agresi yang lainnya tergantung dari tindakan agresi itu sendiri dan dimana
tindakan agresi itu terjadi. Akhir-akhir ini tindakan agresi banyak terjadi di
lingkup sosial baik di sekolah maupun lingkup sosial lainnya. Di bawah ini ada
beberapa faktor penyebab terjadinya Agresi atau Agresivitas:
1. Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku
agresi:
a. Gen tampaknya berpengaruh pada
pembentukan sistem neural otak yang mengatur
perilaku agresi.
b. Sistem otak yang tidak terlibat
dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang
mengendalikan agresi.
c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya
hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi
perilaku agresi.
2. Faktor Naluri atau Insting
Menurut Sigmund
Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri
kehidupan ) dan thanatos (naluri kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri
kematian (thanatos). Agresi dapat diarahkan kepada orang lain atau
sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat pula pada diri sendiri (internal).
3. Faktor Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki
ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan
ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah
perilaku agresi.
4. Faktor Frustrasi
Frustrasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah
akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur,
keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi
sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku
agresi.
5. Faktor sosial learning (peran
belajar model kekerasan)
Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh
dari beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan
kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang
bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap
saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film
kartun, sinetron, sampai film laga.[6]
D. Cara mengurangi perilaku agresif
Perilaku
agresif merupakan masalah utama dalam masyarakat manusia. Kejahatan individual
dan kekerasan sosial dalam skala besar sangat merugikan dan membayakan
kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum. Karena itu pemahaman
tentang cara mereduksi agresifitas merupakan hal yang sangat penting.
Dalam
situasi tertentu orang akan melakukan agresi atau tidak, ditentukan oleh tiga
variabel:
1) Intensitas amarah seseorang, yang
sebagian ditentukan oleh taraf frustasi atau serangan yang menimbulkannya, dan
sebagian ditentukan oleh tingkat persepsi individu terhadap frustasi yang menimbulkan amarah
ini.
2) Kecenderungan untuk mengekspresikan
amarah, yang pada umumnya dientukan oleh apa yang telah dipelajari seseorang
tentang agresivitas, dan pada khususnya ditentukan oleh sifat situasi ini.
3) Kekerasan dilakukan karena alasan
lain yang lebih bersifat instrumental.
Adapun cara untuk mengurangi perilaku
agresif antara lain:
a) Mengurangi frustrasi
b) Orang dapat diajar untuk tidak
melakukan agresi dalam situasi tertentu, atau dapat belajar untuk menekan
agresivitas pada umumnya. Misalnya, anak belajar untuk tidak berkelahi dalam
kelas, dan pada umumnya juga diajari untuk berhati-hati agar tidak saling
melukai.
c) Memberi hukuman atau pembalasan,
rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku agresif.[7]
IV.
KESIMPULAN
Agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap
makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak yang dilukai tersebut
berusaha untuk menghindarinya. Agresi dapat terjadi melalui dua proses yaitu
melalui pemodelan dan pembelajaran.
Adapun periku agresif itu sendiri dikarenakan berbagai faktor,
antara lain:
1. Faktor Biologis
2. Faktor Naluri atau Insting
3. Faktor Amarah
4. Faktor Frustrasi
5. Faktor sosial learning (peran
belajar model kekerasan)
Perilaku agresif merupakan masalah utama
dalam masyarakat manusia. Oleh karena itu perilaku agresi perlu dikurangi
dengan cara mengurangi frustasi, mengajari anak untuk tidak berlaku agresi dan
memberikan hukuman bagi pelaku agresi. Dengan cara seperti itulah agresifitas
akan berkurang.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang berjudul agresi ini
kami buat. kami menyadari makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. semoga makalah ini bermanfaat.
[1]
Faturochman, Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta,
Pustaka, 2006, hal. 82
[2] C.
George Boeree, Pssikologi Sosial,
Yokyakarta, Prismasophie, 2008, hal. 167
[3] Opcit, Faturochman, hal. 85
[4] Opcit, George Boeree, hal 170
[5] Opcit, Faturchman, hal. 86
[6] http://smileandsprit
blogspot. Com /2011/ 03/factor-faktor-agresi. Html. Minggu, 18 Maret 2012 jam
10.00 wib.
[7]
David O. Sears, Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau, Psikologi Sosial,
Jakarta: Erlangga, 1994, hal. 19