Selasa, 29 Mei 2012

Agresi


AGRESI
Makalah
Disususn Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah : Psikologi Sosial
Dosen Pengampu: Wening Wihartati, S.Ag., M.Si



 









Disusun Oleh :
Subaidah (101111043)

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

I.            PENDAHULUAN
      Dewasa ini kita sering kali mendengar bahkan melihat tindak kekerasan yang terjadai dalam lingkungan sekitar kita. Tidak jarang pula pada lingkungan keluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi contoh teladan bagi putra putrinya, entah itu secara sadar atau tidak, sekarang justru berbalik mencelakai. Hal ini dapat kita lihat makin maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan juga penyiksaan terhadap anak.
      Terkadang kita dapat menyaksikan perilaku sadistik di lingkungan tetangga atau teman dekat sekalipun.  Sangat disayangkan di lingkungan kita tidak lagi tercipta rasa aman. Hal ini dapat memicu konflik sosial, seperti tidak akan percaya kepada setiap orang di sekitar kita, kita juga akan selalu cenderung waspada. Hal itu bagus, tetapi terlalu curiga terhadap orang lain juga akan menimbulkan efek yang tidak baik. Jika dibiarkan akan mencapai taraf yang lebih parah, seperti paranoid yang berlebihan. Selain itu baik pelaku atau korban tetap akan dirugikan. Sipelaku akan masuk penjara, sedangkan paling parah korbannya akan meninggal. Atas pertimbangan itulah dalam makalah ini akan dibahas mengenai agresi.


II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian agresi
B.     Proses agresi
C.     Faktor-faktor agresi
D.    Cara mengurangi perilaku agresif


III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian agresi
            Agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak yang dilukai tersebut berusaha untuk menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat empat masalah penting dalam agresi. Pertama, agresi merupakan perilaku. Kedua, ada unsur kesengajaan. Ketiga, sasarannya adalah makhluk hidup, terutama manusia. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.[1]
            Secara umum, agresi memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, dimana keduanya dimaksudkan untuk memperkuat kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut “pernyataan diri” (assertiveness), yakni memperkuat kesadaran diri tanpa merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi negatifnya kita namakan tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.[2]      Terjadinya agresi (negatif) dalam kehidupan manusia itu dikarenakan tidak adanya mekanisme biologis dalam diri manusia untuk menghambat sikap agresif tersubut. Selain itu problematika manusia berbuat agresi (negatif) adalah ia tidak hanya hidup di dunia “nyata”, tetapi juga di dunia simbolis. Dengan kata lain, kita telah memperluas “ego” melebihi diri kita sendiri dan dari segala apa yang kita cintai kepada sesuatu yang bersifat simbolik.

B.     Proses agresi
            Agresi merupakan perilaku melukai orang lain, perilaku tersebut pastilah terjadi melalui proses. Proses tersebut antara lain:
1.      Melalui pemodelan
      Dengan melihat berbagai kejadian yang menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses meniru seperti itu biasa disebut sebagai pemodelan atau imitasi. Salah satu karakteristik penting dalam proses modeling ini adalah adanya hubungan emosional yang kuat antara model dengan peniru. Biasanya orang yang ditiru adalah orang yang dikagumi.[3]
      Belajar sosial yang paling banyak berpengaruh akhir-akhir ini adalah media televisi. Sering terjadi bahwa proses peniruan memang tidak didasari oleh rasionalitas, sehingga orang yang menyaksikan kekerasan di televisi bisa menjadi ikut-ikutan agresif. Bahwa dengan melakukan peniruan itu, peniru merasa diberi reward dari orang yang ditirunya.
      Meskipun para pakar psikologi masih mempertanyakan sejauh mana TV dan bioskop mempengaruhi perilaku manusia, sebagian besar peneliti memberikan kesimpulan “bahwa menonton kekerasan memang meningkatkan agresi antar pribadi, terutama dikalangan anak kecil”. Kekerasan dalam film dapat menimbulkan perilaku agresif melalui beberrapa cara:
1.      Dengan mengajarkan gaya tindakan agresif.
2.      Dengan meningkatkan keterbangkitan.
3.      Dengan membuat orang tidak peka terhadap kekerasan.
4.      Dengan mengurangi kendala pada perillaku agresif.
5.      Dengan mengubah tentang cara penyelesaian konflik.[4]           
2.      Melalui pembelajaran
      Dalam proses pemodelan, meakipun peniru merasa mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang sama dengan pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki hubungan yang jelas dalam konteks prosesnya. Disisi lain, sering ada kesengajaan seseorang meminta orang lain melakukan suatu perbuatan dengan memberi imbalan apabila orang tersebut mau melakukan. Contah yang ekstrim dalam hal ini adalah eksekutor yang bekerja sebagai tukang jagal. Hubungan inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.[5]

C.     Faktor-faktor agresi
            Agresi adalah tingkah laku yang dapat menyakiti orang lain. dalam agresi terdapat beberapa faktor dan tiap faktor agresi dapat berbeda dengan tindakan agresi yang satu dengan agresi yang lainnya tergantung dari  tindakan agresi itu sendiri dan dimana tindakan agresi itu terjadi. Akhir-akhir ini tindakan agresi banyak terjadi di lingkup sosial baik di sekolah maupun lingkup sosial lainnya. Di bawah ini ada beberapa faktor penyebab terjadinya Agresi atau Agresivitas:
1.      Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi:
a.       Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur  perilaku agresi.
b.      Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi.
c.       Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
2.      Faktor Naluri atau Insting
      Menurut Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri kehidupan ) dan thanatos (naluri kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri kematian (thanatos). Agresi dapat diarahkan kepada orang lain atau sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat pula pada diri sendiri (internal).
3.      Faktor Amarah
      Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
4.      Faktor Frustrasi
            Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
5.      Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan)
      Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga.[6]

D.    Cara mengurangi perilaku agresif
            Perilaku agresif merupakan masalah utama dalam masyarakat manusia. Kejahatan individual dan kekerasan sosial dalam skala besar sangat merugikan dan membayakan kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum. Karena itu pemahaman tentang cara mereduksi agresifitas merupakan hal yang sangat penting.
            Dalam situasi tertentu orang akan melakukan agresi atau tidak, ditentukan oleh tiga variabel:
1)      Intensitas amarah seseorang, yang sebagian ditentukan oleh taraf frustasi atau serangan yang menimbulkannya, dan sebagian ditentukan oleh tingkat persepsi individu  terhadap frustasi yang menimbulkan amarah ini.
2)      Kecenderungan untuk mengekspresikan amarah, yang pada umumnya dientukan oleh apa yang telah dipelajari seseorang tentang agresivitas, dan pada khususnya ditentukan oleh sifat situasi ini.
3)      Kekerasan dilakukan karena alasan lain yang lebih bersifat instrumental.
      Adapun cara untuk mengurangi perilaku agresif antara lain:
a)      Mengurangi frustrasi
b)      Orang dapat diajar untuk tidak melakukan agresi dalam situasi tertentu, atau dapat belajar untuk menekan agresivitas pada umumnya. Misalnya, anak belajar untuk tidak berkelahi dalam kelas, dan pada umumnya juga diajari untuk berhati-hati agar tidak saling melukai.
c)      Memberi hukuman atau pembalasan, rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku agresif.[7]




IV.            KESIMPULAN
      Agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak yang dilukai tersebut berusaha untuk menghindarinya. Agresi dapat terjadi melalui dua proses yaitu melalui pemodelan dan pembelajaran.
      Adapun periku agresif itu sendiri dikarenakan berbagai faktor, antara lain:
1.      Faktor Biologis
2.      Faktor Naluri atau Insting
3.      Faktor Amarah
4.       Faktor Frustrasi
5.      Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan)
      Perilaku agresif merupakan masalah utama dalam masyarakat manusia. Oleh karena itu perilaku agresi perlu dikurangi dengan cara mengurangi frustasi, mengajari anak untuk tidak berlaku agresi dan memberikan hukuman bagi pelaku agresi. Dengan cara seperti itulah agresifitas akan berkurang.
           

V.            PENUTUP
      Demikian makalah yang berjudul agresi ini kami buat. kami menyadari makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. semoga makalah ini bermanfaat.



[1] Faturochman, Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta, Pustaka, 2006, hal. 82
[2] C. George Boeree, Pssikologi Sosial, Yokyakarta, Prismasophie, 2008, hal. 167
[3] Opcit, Faturochman, hal. 85
[4] Opcit, George Boeree, hal 170
[5] Opcit, Faturchman, hal. 86
[6] http://smileandsprit blogspot. Com /2011/ 03/factor-faktor-agresi. Html. Minggu, 18 Maret 2012 jam 10.00 wib.
[7] David O. Sears, Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau, Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 1994, hal. 19

Senin, 14 Mei 2012

FAKTOR EMOSIONAL DALAM AGAMA



 
I.            PENDAHULUAN
         Dengan karunianya, Allah membekali manusia dan hewan dengan berbagai emosi yang membuatnya mampu melangsungkan kehidupannya. Misalnya, emosi takut mendorong kita untuk menghindar dari berbagai bahaya yang mengancam. Emosi marah mendorong kita untuk mempertahankan diri dan berjuang untuk menjaga kelangsungan hidup. Emosi cinta merupakan landasan keterpautan hati antara dua jenis dan ketertarikan antara satu sama lainnya, guna kelangsungan hidupnya.
         Antara dorongan dan emosi terdapat hibungan yang erat. Sebab, dorongan-dorongan biasanya dibarengi dengan keadaan intuitif emosional. Ketika suatu dorongan menjadi intens dan terhalang untuk bisa dipenuhi beberapa lama, biasanya ia dibarengi dengan ketegangan dalam tubuh. Biasanya ia dibarengi oleh keadaan intuitif yang kacau. Sedangkan pemenuhan dorongan biasanya dibarengi oleh intuitifyang ceria. Selain itu juga, emosi mempengaruhi tingkah laku.[1]
         Sesungguhnya tidak ada suatu tindakan manusia yang tidak dikendalikan oleh emosinya. Karena itu mempelajari faktor emosional dalam agama itu sangatlah penting. Pengaruh perasaan (emosi) terhadap agama jauh lebih besar daripada rasio (logika). Banyak orang yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh pikirannya, tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat lemah. Kadang-kadang tidak sanggup mengendalikannya.[2]      
     

II.            RUMUSAN MASALAH

A.    Pengerian emosi
B.     Pentingnya faktor emosional dalam agama
C.     Sarana- sarana yang menimbulkan pengalaman emosional
D.    Kondisi emosional



III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian emosi
            Biasanya dorongan-dorongan untuk kelakuan itu untuk tidak tetap dalam bentuknya yang asli itu, akan tetapi menjadi berubah dan tersusun sehingga terjadilah apa yang dinamakan emosi.[3]emosi-emosi itu terbentuk dari pengalaman yang berulang kali dengan obyek-obyek emosi itu sendiri.
            Dalam Al-Qur’an banyak terdapat uraian yang teliti tentang berbagai emosi yang dirasakan manusia, seperti ketakutan, marah, cinta, kegembiraan, kebencian, cemburu, dengki, penyesalan, kehinaan dan sedih.

B.     Pentingnya faktor emosional dalam agama
Factor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya.

            Berbicara tentang pengalaman keagamaan maka yang kita maksut bisa berupa pengalaman yang secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan, atau suatu corak pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang mungkin memperkuat, memperkaya, atau justru memodifikasi kepercayaan keagamaan yang sudah dianut sebelumnya.

                  Setiap orang dapat menafsirkan kesadarannya dengan berbagai kegiatan, misalnya menafsirkan kesadarannya secara teistik dan mengatakan, misalnya bahwa dia telah “melakukan komunikasi dengan Tuhan”, meskipun pengalaman itu tidak menutup kemungkinan untuk dijelaskan secara berbeda. Sejumlah orang akan menolak penafsiran tersebut berdasarkan pengalaman yang kontradiktif, seperti:
1.      Perasaan orang bahwa dia melakukan kontak langsung dengan realitas-ealitas adikodrati bisa juga terjadi menggunakan minuman-minuman tertentu yang memabukkan. Salah sutu jenis minuman yang digunakan eksperimen oleh William James pada zaman kuno adalah nitrous oxide (oksida nitrat). Ia melaporkan pengalamannya dalam bukunya Varietes of Religious Experience bahwa semua yang berlawanan dengan dunia nyata tampak meleleh menjadi satu kesatuan. Dia cenderung berpendapat bahwa hal ini bukan ilusi semsta-mata yang ditimbulkan oleh minuman yang memabukkan tersebut, melainkan suatu pengalaman yang yang salah satu aspek realitasnya tersembunyi di luarkesadaran kita sehari-hari.
2.      James juga melaporkan dalam pengalamannya J.A. Symonds dengan senyawa chloroform. Ini terjadi dalam suatu operasi dan bukan sebagai bagian dari eksperimen psikologik. Symonds melukiskan bagaimana, dalam pengaruh anesthesia jiwanya  yang menyinari saya.” Emudian dia melukiskan ketakutan yang ditimbulkan kekecewaannya ketika secara berangsur-angsur dia terjaga dari anestesianya dan kembali normal pada kesadarannya.
Mengrenai obat bius dapat memberikan penglihatan kedalam realitas dengan melenyapkan beberapa penghalang dibantah oleh Aldous Huxley dari beberapa pengalaman yang dia peroleh dengan senyawa mescalin, obat bius yang dibuat dari peyote (Laphophora wiliamsi) yaitu tanaman kaktus tidak berduri yang terdapat di mexico.dalam lembaga keagamaan, peyote itu dikulum selama peribadatan berlangsung semalam suntuk setelah melakukan penyucian jasmani dan ruhani. Hasil yang didapat konon mencakup tidak hanya pencerahan yang mempesonakan, tetapi juga perolehan beberapa kebaikan abadi seperti kerendahan hati, kesabaran dan rasa cinta kepada perilaku yang baik.
Mescalin adalah salah satu obat bius yang yang antara lain dapat menimbulkan perubahan kondidi kesadaran dimana orang yang meminumnya measakan bahwa dia mempersepsi suatu tatanan realitas yang baru. Sifat dari dampak yang ditimbulkannya jelas dapat dijadikan kajian penelitian ksperimental dan penelit ian itu sudah dilakukan oleh Dr. Pahnke.


C.           Sarana- sarana yang menimbulkan pengalaman emosional
1.      Obat bius
Pengalaman- pengalaman emosional yang diakibatkan dari obat bius terasa dapat memberikan penglihatan kedalam realitas yang mempunyai nilai keagamaan, namun berbahaya bila suatu lembaga keagamaan mendorong pada anggotanya untuk mengikuti jalan itu. Dan karena itu tak mengherankan bila gereja Amerika asli tetap mempergunakan sarana ini untuk memperoleh pengalaman agama.

Konon mescalin tidak menimbulkan ketagihan dan juga tidak memiliki akibat- akibat samping yang tidak di inginkan. Namun demikian, orang yang dipakai sebagai percobaan dengan mescalin bias terus mengembangkan pengalaman- pengalaman emosionalnya dengan obat- obat bius yang lebih berbahaya dan menimbulkan ketagihan.
2.      Peribadatan- peribadatan keagamaan
Peribadatan keagamaan juga dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan- peribadatan itu akan terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata. Apabila diamati dari luar maka orang yang menyaksikan berbagai peribadat agama mungkin cenderung berkomentar bahwa peribadatan itu tidak lebih dari pada upacara yang tidak memiliki makna apa- apa. Penilaian itu barang kali iya melihat peribadatan agama dari aspek external tanpa mengalami sendiri pengalaman emosional yang memberikan arti penting pada para pelakunya. Misalnya, dalam upacara doa bersama atau pemberian korban diduga keras ada kesadaran kuat akan kehadiran dan komunikasi dengan tuhan. Pengalaman- pengalaman ini efektif untuk menghilangkan ketegangan dan menumbuhkan perasaan damai dan kebahagiaan.

Terlepas dari masalah pengunaan obat- obat bius seperti peyote yang terkadang dilakukan orang untuk menimbulkan pengalaman emosional, unsure- unsure utama yang dapat menimbulkan pengalaman emosional selama peribadatan keagamaan itu berlangsung tanpaknya adalah rangkaian upacaranya sendiri, music yang dimainkan dan khutbah emosional yang disampaikan disitu.

Peribadat yang khidmat, bauk- bauan yang harum dari ramuan tertentu yang dibakar, berbagai jubah keupacaraan, dan banyaknya lilin yang dinyalakan pada Misa di gereja Katholik Romawi atau gereja Timur semuanya dapat menimbulkan atau mengintensifkan perasaan- perasaan khidmat pada para peserta peribadatan itu. Beberapa gerakan seperti seperti berdiri atau berlutut dalam doa (atau salat dalam islam) tidak hanya bias berlambangkan sikap- sikap hormat dan tunduk; tetapi juga dapat menimbulkan berbagai emosional yang sesuai dengan sikap- sikap ini.


Music juga merupakan sarana untuk menimbulkan pengalaman emosional pada para pelaku peribadatan. Pada beberapa lembaga keagamaan, himne- himne pendek yang bercorak sangat emosional diulang- ulang dengan dampak semi- hipnotik dan dengan tuntutan kuat untuk mendapatkan tanggapan- tanggapan emosional. Akan tetapi sarana besar untuk menimbulkan emosi itu adalah bahasa manusia, terutama dipergunakan dalam lembaga- lembaga itu sendiri yang meninggalkan penciptaan emosi melalui upacara- upacara yang bersifat visual. Pernyataan lisan dalam khutbah atau pidato keagamaan bias dimaksudkan untuk memberikan informasi atau membimbing para pendengernya menuju kepada serangkaian perbuatan yang diinginkan. Namun ia bias juga ditunjukan untuk menimbulkan sejenis emosi, baik untuk tujuan itu semata-mata, yang dalam hal ini tanggapan emosional pendengarnya merupakan salah satu ukuran tentang sejauh mana khutbah itu telah mencapai sasaran, dimana ia digunakan sebagai alat untuk menimbulkan krisis konversi (perganian) agama.

D.    Kondisi emosional
      Kondisi emosional seperti rasa takut, kemarahan atau senang adalh kondisi organism yang memiliki aspek-aspek mental dan jasmani, terdapat nada kesadaran atau perasaan yang berbeda, yang mungkin menyenangkan atau menyedihkan. Pada sisi jasmaninya tedapat peristiwa-peristiwa fisiologik yang berkaitan dengan kegiatan system saraf yang sejak semula bekerja secara otonom. Perubahan-perubahan semacam itu adalah kecerahan, kepucatan, detak jantung yang semakin cepat dan sebagainya. Peristiwa tersebut bis dikatakan sebagai persiapan tubuh untuk menghadapi sejumlah kegiatan, seperti serangan atau menghindarkan diri pada serangan.
      Fungsi emosi secara biologic adalah memulai perbuatan. Ada kemungkinan bahwa ditimbulkannya emosi dengan khutbah emosionalatau cara lain dalam peribadatan keagamaan dapat menjurus pada anggapan bahwa kondisi emosional yang timbul itu merupakan tujuan dan tidak lagi merupakan  rangsangan untuk berbuat. Pemisahan emosi dari segi hasilnya dalam bentuk perbuatan maka akan menimbulkan sentimentalisme.
      Sentimentalisme merupakan akibat yang mungkin terjadi dalan kehidupan keagamaan apabila emosinya itu sendiri disenangi dan tidak berfungsi sebagai pendorong untuk melakukan sesuatu. Padahal akibat penting dari kesadaran beragama adalah dorongan untuk taatkepada ajaran yang dipeluknya dan berperilaku yang baik dengan sesame manusia. Nilai emosi keagamaan itu harus berhasil atau tidaknya dalam membantu tercapainya tujuan ini.

IV.            KESIMPULAN
      Emosi dorongan-dorongan untuk kelakuan itu untuk tidak tetap dalam bentuknya yang asli itu, akan tetapi menjadi berubah dan tersusun. Sehingga emosi memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya. Setiap orang dapat menafsirkan kesadarannya dengan berbagai kegiatan, misalnya menafsirkan kesadarannya secara teistik dan mengatakan, misalnya bahwa dia telah “melakukan komunikasi dengan Tuhan”
      Adapun sarana-sarana untuk menimbulkan pengalaman emosional itu bisa dilakukan dengan menggunakan obat bius separti mescalin. Selain itu juga dapat diperoleh melalui peribadatan-peribadatan keagamaan, karena didalamnya terdapat banyak kegiatan emosional. Kondisi emosional yang didapat tersebut sangat berpengaruh dalam beragama.


[1] M. Utsman Najati, AL-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka, 1985, hal. 66
[2] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, hal. 94
[3] Abdul Aziz El-Qussy, pokok-pokok kesehatan jiwa/mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 130